Hari ini gue balik keJakarta setelah hampir satu setengah
tahun gue ga pulang-pulang.
Kali ini gaada yang jemput, gue balik sendirian dari bandara
Soekarno-Hatta ke rumah, pertamannya naik damri sampe Rawamangun terus gue naik
Taksi sampe rumah. Ditengah perjalanan waktu di Damri gue disambut dengan
Banjir dan Kemacetan.
Didalam damri gue berfikir, perbedaan Jakarta dengan
Bengkulu. Beda banget jauuuh !!!! Jakarta yang dikenal sebagai Ibu Kota ini,
ternyata tak seindah dengan bayangan orang-orang yang belum pernah
mengunjunginya dan ingin mengunjungi tempat ini. Kota yang seharusnya menjadi
Pusat Pemerintahan ini keadaannya tidak sebanding dengan apa yang seharusnya.
Gedung-gedung pencakar langit, keramaian yang bisa di
katakan 24jam, kemacetan membuat orang membuang waktunya berjam-jam perhari,
pusat perbelanjaan dan masih banyak lagi. Itu semua yang tidak bisa gue rasain
diBengkulu!
Sambutan kemacetan ini semakin membuat gue ga nyaman
terkurung 3jam-an lebih di dalem damri tepatnya di daerah RawaSari. Ini salah
satu hal yang bikin gue betah lama diBengkulu adalah bebas kemacetan, masih
suka heran sama orang yang setiap tahun dia mudik selalu membawa kerabatnya ke
Jakarta ini galiat apa kondisi disini udah sumpek banget-banget. Mungkin salah
satu yang bikin mereka berkeinginan Urbanisasi adalah fikiran kalau “nyari uang
diJakarta itu gampang” sampai ada yang bilang “sampah dijual juga laku dan
menghasilkan uang”. Apa yang harus
dilakukan agar penduduk pedesaan betah tinggal di tempatnya dan semakin percaya
diri untuk berkarya? Mereka ngga harus ke kota untuk menghasilkan
pendapatan yang layak. Pertanyaan itu bukan untuk Presiden, Pemerintah,
Menteri, Para pejabat tinggi DPR, DPRD dan lain sebagainya tapi untuk semua
kalangan masyarakat yang “masih peduli terhadap negara ini” jika bukan kita
yang memperbaikinya siapa lagi??? Apakah mau bangsa lain peduli? TIDAK. Mereka
hanya ingin kepada Sumber Daya Alam yang Negara kita miliki.
Ibu Kota, menjadi sorotan ketika banjir menghampiri setiap
tahunnya.
Apa yang harus dilakukan
pemimpinnya? Jika yang dipimpin tidak pernah sadar diri kepada lingkungan
tempat tinggal yang mereka huni. Bukannya menjaga malah sebaliknya, sebagai
contoh: mereka yang tinggal dibantaran kali, seenaknya membuang sampah begitu
saja kedalam kali tampa berfikir nantinya mereka yang mengalami dampak
buruknya. Gue mencoba menerka-nerka fikirkan orang-orang itu untuk malas
membuang sampah pada tempatnya! Apa tidak ada tempat pembuangan sampah? Atau
Iuran bulanan untuk membuang sampah itu terlalu mahal? Atau apa yang sebenarnya
terjadi? Setelah gue melakukan observasi pada penduduk yang tinggal dibantaran
kali tersebut jawabannya “ buangnya ke aliran air ini mbak nantikan juga
hanyut” ini dia ternyata kurangnya pengetahuan! Hayut kemana???? Meraka kira
sampah plastik bisa terdaur ulang begitu saja di aliran air -_-